Dunia penyiaran ke depan akan berubah seiring berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi. Sifat-sifat teknologi telekomunikasi konvensional yang bersifat massif sekarang sudah mampu digabungkan dengan teknologi komputer yang bersifat interaktif. Sistem analog yang telah bertahan sekian puluh tahun akan segera tergantikan oleh sistem digital, dan implementasinya segera memunculkan fenomena baru: konvergensi. Sederhananya, konvergensi adalah bergabungnya media telekomunikasi tradisional dengan internet sekaligus. Bersamaan dengan berlangsungnya konvergensi dibidang telematika, akan terjadi peralihan sistem penyiaran analog ke sistem penyiaran digital. Televisi digital (DTV / Digital Television) menggunakan modulasi digital dan kompresi untuk menyebarluaskan video, audio, dan signal data ke pesawat televisi.
Kunci dari konvergensi adalah digitalisasi, kerena seluruh bentuk informasi maupun data diubah dari format analog ke format digital sehingga dikirim ke dalam satuan bit (binary digit). Karena informasi yang dikirim merupakan format digital, konvergensi mengarah pada penciptaan produk-produk yang aplikatif yang mampu melakukan fungsi audiovisual sekaligus komputasi. Maka jangan heran jika sekarang ini komputer dapat difungsikan sebagai pesawat televisi, atau telepon genggam dapat menerima suara, tulisan, data maupun gambar tiga dimensi (3G). Dalam dunia penyiaran, digitalisasi memungkinkan siaran televisi memiliki layanan program seperti laiknya internet. Cukup dengan satu perangkat, seseorang sudah dapat mengakses surat kabar, menikmati hiburan televisi, mendengar radio, mencari informasi sesuai selera, dan bahkan menelpon sekalipun.
Konvergensi media menyediakan kesempatan baru yang radikal dalam penanganan, penyediaan, distribusi dan pemrosesan seluruh bentuk informasi secara visual, audio, data dan sebagainya (Preston, 2001: 27). Dampak dari konvergensi media tentu saja berlangsung di berbagai bidang. Di ranah komunikasi massa misalnya, strategi jurnalistik konvensional sekarang ini mengalami perubahan signifikan. Jurnalis masa kini dituntut mampu menyegerakan penyampaian informasi yang diperoleh dan mengirimkannya ke khalayak. Maka, masyarakat sekarang mengenal apa yang disebut sebagai jurnalisme online (Abrar, 2003: 45). Aplikasi teknologi komunikasi terbukti mampu mem-by pass jalur transportasi pengiriman informasi media kepada khalayaknya. Di sisi lain, jurnalisme online juga memampukan wartawan untuk terus-menerus meng-up date informasi yang mereka tampilkan seiring dengan temuan-temuan baru di lapangan. Jurnalisme online sekaligus akan mengurangi fungsi editor dari sebuah lembaga pers. Seorang jurnalis online akan memperoleh otonomi yang lebih luas dalam meng-up load informasi baru tanpa terkendala lagi oleh mekanisme kerja lembaga pers konvensional yang relatif panjang.
Beberapa Konsekuensi
Konvergensi media bukan saja sekadar memperlihatkan bekerjanya ICT (information and communication technology) di ranah media. Bergabungnya media massa konvensional beserta teknologi internet tak ayal menumbuhkan serangkaian konsekuensi baru baik pada tataran teoritis maupun praktis. Pada tataran teoritik, pengertian komunikasi massa konvensional rasanya patut diperdebatkan kembali. Konvergensi menyebabkan perubahan signifikan pada ciri-ciri komunikasi massa konvensional. Tertundanya umpan balik yang lazim pada media massa konvensional semakin berkurang, bahkan hampir-hampir lenyap. Media konvergen memunculkan karakter baru yang makin interaktif, dimana penggunanya mampu berkomunikasi secara langsung dan memperoleh konsekuensi langsung atas pesan (Severin dan Tankard, 2001: 370). Disebabkan karena sifat interactivity media konvergen, maka pendekatan linear sebagaimana sering dilakukan dalam memandang konteks komunikasi massa terasa kurang relevan lagi.
Perpaduan ciri-ciri komunikasi massa dan komunikasi antarpribadi dalam media konvergen menyebabkan berubahnya konsep massa. Dalam komunikasi massa konvensional, massa yang diartikan sebagai kesatuan khalayak yang anonim dan teralienasi, sehingga pesan yang disampaikan kepadanya pun besar-besaran (massive) dalam media konvergen justru terjadi proses demassivikasi. Media konvergen menyebabkan derajat massivitas massa berkurang, karena komunikasinya makin personal dan interaktif. Sebagaimana diungkap McMillan (dalam Lievrouw dan Livingstone, 2004: 164), konvergensi teknologi komunikasi baru memungkinkan terciptanya komunikasi interpersonal yang termediasi.
Pada tataran praktis, konvergensi media menghadirkan isu-isu penting di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan.. Di bidang pendidikan, lembaga pendidikan akan dituntut untuk mampu menyediakan lulusan yang memiliki kematangan akademis sekaligus kapabilitas praktik yang baru dan berbeda dengan sebelumnya. Dalam konteks ini, dunia pendidikan di masa mendatang dihadapkan pada tantangan-tantangan pembenahan kurikulum agar sesuai betul dengan laju teknologi yang tidak terbendung. Dunia kerja di masa mendatang akan mensyaratkan kualifikasi keterampilan baru pada setiap pekerjaan yang berhubungan konvergensi teknologi.
Dari sudut pandang ekonomi politik, konvergensi juga berarti peluang profesi baru. Konvergensi memberikan kesempatan baru kepada pengelola media konvergen untuk memperluas pilihan publik sesuai selera, karena tersedianya sejumlah pilihan akses sekaligus. Sekalipun demikian, di aras ekonomi ini konvergensi juga berpeluang menciptakan kelompok dominan baru yang akan menjadi penguasa pasar. Konsentrasi kepemilikan salah satunya. Sektor-sektor media yang berbeda akan bergabung dan menghidupkan konglomerasi. Padahal, manakala kepemilikan baik secara vertikal maupun horisontal sudah dikuasai oleh kelompok, ekses lanjutannya senantiasa tidak menyenangkan. Konvergensi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu untuk menyebarkan gagasan-gagasan politik secara lebih leluasa dibandingkan dengan media massa konvensional. Bagi pemodal yang berafiliasi dengan kelompok politik, konvergensi memberi peluang yang labih terbuka untuk mentransformasikan gagasan politik tertentu untuk meraup suara publik. Dengan demikian maka konvergensi media berarti juga berpotensi menjadi medium hegemoni baru bagi kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik untuk meraih keuntungan sepihak. Konfigurasi kekuatan semacam ini dapat mengancam terselenggaranya kehidupan demokrasi, karena, hakikatnya suara publik cenderung akan dikendalian oleh kekuatan dominan dari pemilik modal sekaligus kelompok kepentingan.
Oleh karena itu, pada aras politik diversifikasi konvergensi menuntut kebijakan politik yang menjamin adilnya distribusi dan perlindungan konsumen. Pada tingkat ini, diperlukan regulasi yang memadai agar akses konvergensi dapat dinikmati secara relatif merata untuk semua kalangan. Termasuk di dalamnya adalah agar khalayak terlindungi dari dampak buruk media konvergen. Hal ini menjadi urgen untuk dipikirkan, engingasifat alamiah perkembangan teknologi yang selalu saja mendua; di satu sisi konvergensi memberi dampak positif dan di sisi lain negatif. Di samping optimalisasi sisi positif, antisipasi terhadap sisi negatif konvergensi nampaknya perlu dikedepankan sehingga konvergensi teknologi mampu membawa kemaslahatan bersama.
Dari sudut pandang kebudayaan, pola perilaku masyarakat akan berubah seiring dengan perkembangan media konvergen (Rice, dalam Lievrouw and Livingstone, 2004: 105-124). Digitalisasi media menyebabkan kurang pentingnya memisahkan isi media dari sisi produksi, editing, distribusi dan penyimpanannya. Maka, bentuk dan isi media mendatang akan berubah mengikuti perkembangan teknologi. Cepat atau lambat, di masa mendatang preferensi masyarakat terhadap media akan beralih dari media konvensional ke media konvergen. Singkatnya, konvergensi akan mengubah hubungan antara teknologi, industri, pasar, gaya hidup dan khalayak.
Kamis, 14 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar